Monday, July 6, 2015

Melaut ke Krakatau (1): Anakkrakatau, Kau Tumbuh Makin Besar

Subuh, sekitar pukul empat—10 hari sebelum Ramadan 2015, kami sudah merapat di “pulau” Gunung Krakatau. Dalam gelap, kami--50-an peserta tur Krakatau—beringsut menuruni kapal menuju pantainya yang berpasir kelam. Bulan yang sedang menampakkan sabit-sabit terakhirnya, tak cukup sanggup menerangi subuh-hangat Selat Sunda. Penerangan hanya berasal dari sejumlah peserta yang memakai lampu sorot di topinya.

KRAKATAU: yang tampak menjulang dan mengepul adalah anaknya. Krakataunya sudah runtuh pada letusan 1883 yang dahsyat dan legendaris.
Usai turun dari perahu transportasi tradisional beratap rendah, peserta termasuk saya, sibuk memakai sepatu. Saat turun dari perahu, kami umumnya bertelanjang kaki agar sepatu tidak basah. Sebagian lain bergegas melaksanakan solat subuh berjamaah, di kegelapan hutan cemara laut yang merimbun selepas pantai.

Saya sendiri cukup tegang, pasalnya tamu bulanan datang jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Selain itu, saya baru saja terkena cikungunya yang membuat sendi-sendi kaki sakit, linu, dan kaku; sudah lewat dua bulan gejalanya belum hilang sama sekali. Sempat terpikir sekilas untuk tidak ikut naik, karena saya sudah berprasangka buruk bahwa jalur pendakian akan sangat berat.

PETA SELAT SUNDA: 1. Pelabuhan Merak, Banten, Jawa 2. Pelabuhan Bahauheni, Lampung, Sumatra 3. Dermaga Canti, Kalianda 4. Pulau Sebesi 5. Gunung Krakatau 6. Pulau Sebuku Besar dan Sebuku Kecil 7. Pulau Sertung 8.Pulau Panjang 9. Pulau Rakata 10. Gunung Rajabasa, Lampung 11. Anyer (akses lain ke Krakatau). A. Pulau Sumatra B. Pulau Jawa (klik pada gambar untuk mendapatkan gambar lebih jelas)
Keputusan bodoh kalau saya benar-benar tidak ikut naik; saya lupa bahwa Gunung (G) Krakatau beserta anaknya, G Anakkrakatau, bukan gunung daratan. Ketinggiannya hanya 400-an meter dari permukaan laut. Kenyataannya, setelah mendaki sebentar di sela rimbunan pohon cemara laut,  pemandangan puncak Anakkrakatau yang mengepul—bagaikan nasi tumpeng yang masih panas—sudah tersaji. Saya menduga waktu sudah menunjukkan sekitar pukul enam, karena  suasana sudah mulai terang.

Pulau Rakata diintip dari kekayaan vegetasi Gunung Krakatau
Sejak itu, sama sekali tak ada penderitaan mendaki yang biasa saya alami (misalnya degup jantung yang serasa naik ke kepala yang pernah membuat saya pingsan) meskipun kemiringan cukup tajam. Pemandangan dahsyat yang terhampar, sanggup mengalihkan fokus perhatian.

Apalagi semua peserta, alih-alih berlomba segera mencapai posisi tertinggi yang bisa dicapai, malah sibuk jepret sana jepret sini. Belum lagi, karena kami adalah rombongan tur “ngakademis”, dua interpreter tur dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, Budi Brahmantyo dan T.Bachtiar, seringkali berhenti di satu tempat dan memberi kuliah.

Bom Kerak Roti: yakni material vulkanis yang terlempar dari kaldera Anakkrakatau. Bom kerak roti yg tampak pada gambar adalah yang terlempar saat Anakkrakatau meletus 2011 silam
Misalnya saja mengenai fenomena “bom kerak roti” dan “bom tahi sapi”; yakni material-material vulkanis yang terlempar saat Anakkrakatau batuk pada 2012 silam.

G Anakkrakatau pun begitu terbuka, gundul, sehingga rombongan terdepan bisa terlihat dari kejauhan. Situasi ini membuat rasa  takut tertinggal hilang; kalaupun lambat mendaki. Kebetulan sayalah juara pertama paling akhir yang sampai di puncak; puncak tertinggi yang bisa dicapai wisatawan yakni punggungan kaldera G Krakatau.

Menapaki punggungan kaldera Gunung Kakatau. Di dalam kaldera tersebut kini sudah bersemayam sang anak: Gunung Anakkrakatau. Tinggi Anakkrakatau sudah mencapai 400 meter dpl. Setiap tahunnya tumbuh 4 meter.
Kaldera yang terbentuk akibat letusan legendaris pada 1883  inilah yang kini sudah dihuni G Anakkrakatau. T Bachtiar dalam handout yang dibagikan ke peserta, menulis, Anakkrakatau tumbuh empat meter setiap tahunnya.

Sesampainya saya di punggungan kaldera tersebut, ketika kemudian menengadah, wow…. si anak menjulang megah tepat di hadapan saya. Kami beruntung bisa naik sampai setinggi ini, karena jika mengingat kasus rombongan tur lain, mereka datang bertepatan saat Anakkrakatau sedang berdehem. Mereka pun hanya bisa naik sampai beberapa meter di atas area hutan cemara laut. Itupun katanya dengan sedikit memaksa agar pihak pengelola situs berstatus cagar alam ini mengizinkan.

Anakkrakatau dan Anakorang (hehe)
Kisah rombongan lain bahkan hanya bisa menyaksikan Krakatau dengan mengitari perairan sekitar gunung menggunakan kapal. Kami pun sebenarnya sempat diwanti-wanti agar bersiap kecewa karena bisa saja tiba-tiba dilarang turun dari perahu dengan alasan gunung-api super aktif ini mendadak nge-rock.

Padahal, pemandangan dari ketinggian Krakatau begitu memukau. Di depan (jika posisi kita membelakangi Anakkrakatau) P Panjang tampak seperti ikan paus yang sedang mengapung di permukaan. Sedangkan di kanan, P Rakata berdiri anggun nyaris simetris.

Sebenarnya ada satu pulau lagi yang mengelilingi Krakatau, yakni P Sertung. Namun posisi pulau ini berada “di belakang” Anakkrakatau sehingga tak terlihat.

Saat kami turun dari Anakkrakatau, matahari mulai terik, tapi justru mulai banyak rombongan wisatawan lain yang naik. Keputusan tepat mendatangi Krakatau di subuh hari. Hujan yang tampaknya turun semalam di sekitar Krakatau, termasuk saat kami masih di Pulau (P) Sebesi, membuat permukaan Krakatau basah sehingga tidak memantulkan debu.

Tiga hari melelahkan pergi-pulang melintas kemonotonan jalan tol Bandung hingga Merak, Ferry lambat bagai siput yang menumpulkan jiwa, dan lautan luas yang terkadang membosankan, terbayar tunai oleh satu gunung “kecil” yang pernah mengguncang dunia.

Melintas Ibukota dan Naik Ferry Berbau Tujuh Rupa
Syukurlah saya tidak dengan dungunya memilih tidak naik, karena justru tujuan utama tur kami inilah yang memang menjadi pelepas dahaga dari perjalanan menempuhnya yang cukup melelahkan. Salah satu segmen perjalanan yang membuat saya sempat malas ikut  tur ini adalah: naik kapal Ferry. Semasa SMP, saya pernah ikut tur melintasi Selat Sunda ke Bakauheni menggunakan Ferry  bernama Jatra; dan itu sangat membosankan.

Di atas Ferry dini hari, meninggalkan Jawa nun di sana
Belum lagi belakangan ini, mungkin seiring usia bertambah, saya semakin “olo-olo” (manja, belagu). Saya mudah sebel dengan bebauan produk aktivitas manusia, saya apriori terhadap toilet umum; kalau tidak benar-benar mendesak saya akan memilih menahan buang air; minum jika sudah benar-benar haus, selain itu saya makin reaktif terhadap asap rokok, dan masih banyak lagi.

Bayangkan, di Ferry saya sempat menegur seorang bapak yang bersiap menyalakan rokok sambil sibuk mengasuk anak kecil; sepertinya anaknya. Saya bilang pada dia, jangan merokok di dekat atau di depan anak-anak. Padahal saya tahu, itu terutama untuk kepentingan saya agar tidak perlu menghirup asap rokok yang sempat bergumul di mulut dia.

Untunglah di bus yang membawa kami ke Pelabuhan Merak, saya berhasil menduduki bangku terdepan; di belakang sopir. Bangku terdepan bagi saya adalah surga kecil karena bisa mengamati “situasi dunia” dengan leluasa, termasuk mengamati Ibukota yang malam itu puadat merayap (kapan Jakarta tidak padat merayap?). Bantal leher yang gemuk, tak percuma saya bawa meskipun memenuhi hampir sepertiga isi ransel.

Berangkat sekitar pukul empat sore, dan tiba di Merak lepas 12 malam (sepertinya saya kurang akurat ihwal waktu ini). Penumpang Ferry malam itu tergolong padat. Dan saya terseok-seok dibebani bawaan satu ransel dan satu tas tenteng yang penuh menggelembung. Padahal peserta lain hanya dibebani satu ransel di punggung, dan tas selempang untuk barang-barang dengan tingkat keluar masuk yang intensif.

Tapi saya tidak peduli dengan gaya saya yang rempong. Yang penting hati tenang karena semua barang yang saya anggap penting terbawa. Seorang peserta yang tampak minim bawaannya, toh kemudian menyesal tak membawa baju ganti lebih, padahal udara laut memaksa produktivitas keringat berlebih.

Dugaan saya mengenai Ferry, cukup tepat. Apalagi kabin penumpang hanya dilengkapi pendingin ruangan lokal, bukan AC sentral. Bau-bauan yang menguar, sungguh tak cocok dengan hidung belagu saya: campuran antara sedikit bau pesing dari toilet, bau asem keringat, minyak telon, dsb. Penumpang banyak yang tidur di lantai kabin.

Tak tahan, akhirnya saya memilih keluar kabin (rupanya ada peserta lain yang punya masalah serupa dan  bersungut-sungut keluar dari kabin; tampaknya saya cukup obyektif, hahaha…). Tentu saja, luar kabin justru merupakan lokasi pembenaran para lokomotif untuk merokok. Namun syukurlah, asap rokok segera hilang ditelan angin laut. Aroma udara pun lebih alami meskipun seringkali tercium bau asap bahan bakar Ferry yang merayapi Selat Sunda.

Sesekali saya berjalan-jalan ke berbagai posisi: parkiran mobil, koridor luar kabin yang langsung berbatasan dengan laut; hanya dihalangi pagar standar, serta ke area bagian depan kapal. Area depan gelap dan sunyi, tapi jika diamati ternyata digelimpangi penumpang yang tertidur.

Jadi, dalam sekitar dua jam Merak-Bakauheni, saya memilih berdiri di luar kabin. Hadiahnya, saya sempat mendapat sajian dari Tuhan berupa penampakan bintang jatuh. Sesampainya di Pelabuhan Bakauheni, Lampung (mungkin pukul empat), saya mulai diserang kantuk.

Mengakrabi Pulau Sebuku-Kecil dan Umang-Umang
Perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni ke Pelabuhan Canti, melintasi Kalianda, menggunakan angkot, saya manfaatkan untuk tidur. Waktu tempuh kurang dari satu jam, tapi saya merasa tertidur cukup nyenyak, padahal mungkin hanya 15 menitan. Bahkan saya masih sempat menikmati suasana Kota Kalianda yang bersih (berbeda dengan kota-kota di Jabar yang nyampah), dengan arsitektur rumah-rumahnya yang unik; ada sentuhan kolonial.
BERKIBARLAH BENDERAKU: Perjalanan dari dermaga Canti menuju Pulau Sebuku Kecil (sebelum ke Pulau Sebesi)

Saya baru ingat, Kalianda adalah kota kecamatan yang pernah dijadikan lokasi Festival Krakatau. Waktu itu (tahun berapa ya?) saya sempat berpikir betapa beruntungnya orang-orang yang bisa mengikuti festival ini.

Saat tiba di Canti, kota pelabuhan kecil yang melayani pelayaran ke pulau-pulau kecil, termasuk ke Krakatau tentunya, saya langsung mencari toilet. Syukurlah satu toilet umum yang tersedia berukuran cukup luas dan yang penting tidak bau, dengan air melimpah. Belum ada antrian pula. Wush wush wush… Wuiiiih… legaa!! Kostum diganti, muka diganti, eh.. dicuci, saya pun bisa lebih ceria menghadapai jadwal tur hari ini.

Sebelum bersandar di Pulau Sebesi, kami berwisata dulu ke Pulau Sebuku Kecil dan Pulau Umang-umang. Pulau-pulau ini lebih tepat disebut gugusan pulau. Di Sebuku Kecil, saya ragu: turun nggak, turun nggak… Soalnya saya melihat peserta lain yang turun ada yang basah sampai melebihi paha. Bagaimana tidak, tangga turun tidak sampai menapak di daratan. Ombak mengombang-ambingkan tangga tersebut.
Merapat di Sebuku Kecil menggunakan perahu transportasi tradisional. Pulau yang di seberang sana adalah Sebuku Besar (maaf fotonya miring)

Tapi pasir putih Sebuku Kecil memanggil-manggil saya untuk turun. Alhamdulillah, selamat, hanya basah di atas lutut. Padahal kalau sedang apes, bisa saja kepeleset dan kecebur; seperti yang dialami salah satu peserta saat turun di Krakatau. Padahal pantai Krakatau lebih landai.

Akan tetapi di Pulau Umang-umang, pantai terlihat lebih curam. Ombak menjadi lebih kencang memukul pantai. Tangga kapal semakin tidak menapak daratan. Saya “merengkog” bagai mobil direm mendadak, tak mau ambil risiko. Bahaya adeng hudaya, kata teman saya mah.

Lagipula suasananya tampaknya tak beda jauh dengan Sebuku Kecil, lah (*menyangkal supaya gak nyesel). Faktanya, Umang-umang kelihatan lebih cakep. Peserta juga masuk ke dalam pulau, tak seperti di Sebuku Kecil yang hanya bermain di pantainya. Sudah barang tentu membosankan menunggu peserta lain selesai bermain di Umang-umang, namun syukurlah saya tak sendiri. (Bersambung ke Tulisan ke-2)

No comments:

Post a Comment