Subuh,
sekitar pukul empat—10 hari sebelum Ramadan 2015, kami sudah merapat di “pulau”
Gunung Krakatau. Dalam gelap, kami--50-an peserta tur Krakatau—beringsut menuruni
kapal menuju pantainya yang berpasir kelam. Bulan yang sedang menampakkan
sabit-sabit terakhirnya, tak cukup sanggup menerangi subuh-hangat Selat Sunda. Penerangan
hanya berasal dari sejumlah peserta yang memakai lampu sorot di topinya.
KRAKATAU: yang tampak menjulang dan mengepul adalah anaknya. Krakataunya sudah runtuh pada letusan 1883 yang dahsyat dan legendaris. |
Usai turun dari perahu transportasi tradisional beratap rendah,
peserta termasuk saya, sibuk memakai sepatu. Saat turun dari perahu, kami
umumnya bertelanjang kaki agar sepatu tidak basah. Sebagian lain bergegas melaksanakan
solat subuh berjamaah, di kegelapan hutan cemara laut yang merimbun selepas
pantai.
Saya sendiri cukup tegang, pasalnya tamu bulanan datang jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Selain itu, saya baru saja terkena cikungunya yang membuat sendi-sendi kaki sakit, linu, dan kaku; sudah lewat dua bulan gejalanya belum hilang sama sekali. Sempat terpikir sekilas untuk tidak ikut naik, karena saya sudah berprasangka buruk bahwa jalur pendakian akan sangat berat.
Saya sendiri cukup tegang, pasalnya tamu bulanan datang jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Selain itu, saya baru saja terkena cikungunya yang membuat sendi-sendi kaki sakit, linu, dan kaku; sudah lewat dua bulan gejalanya belum hilang sama sekali. Sempat terpikir sekilas untuk tidak ikut naik, karena saya sudah berprasangka buruk bahwa jalur pendakian akan sangat berat.
Keputusan bodoh kalau saya benar-benar tidak ikut naik; saya lupa
bahwa Gunung (G) Krakatau beserta anaknya, G Anakkrakatau, bukan gunung daratan.
Ketinggiannya hanya 400-an meter dari permukaan laut. Kenyataannya, setelah
mendaki sebentar di sela rimbunan pohon cemara laut, pemandangan puncak Anakkrakatau yang mengepul—bagaikan
nasi tumpeng yang masih panas—sudah tersaji. Saya menduga waktu sudah
menunjukkan sekitar pukul enam, karena suasana sudah mulai terang.
Pulau Rakata diintip dari kekayaan vegetasi Gunung Krakatau |
Sejak itu, sama sekali tak ada penderitaan mendaki yang biasa saya
alami (misalnya degup jantung yang serasa naik ke kepala yang pernah membuat
saya pingsan) meskipun kemiringan cukup tajam. Pemandangan dahsyat yang terhampar,
sanggup mengalihkan fokus perhatian.
Apalagi semua peserta, alih-alih berlomba segera mencapai posisi
tertinggi yang bisa dicapai, malah sibuk jepret sana jepret sini. Belum lagi,
karena kami adalah rombongan tur “ngakademis”, dua interpreter tur dari
Kelompok Riset Cekungan Bandung, Budi Brahmantyo dan T.Bachtiar, seringkali
berhenti di satu tempat dan memberi kuliah.
Bom Kerak Roti: yakni material vulkanis yang terlempar dari kaldera Anakkrakatau. Bom kerak roti yg tampak pada gambar adalah yang terlempar saat Anakkrakatau meletus 2011 silam |
Misalnya saja mengenai fenomena “bom kerak roti” dan “bom tahi sapi”; yakni
material-material vulkanis yang terlempar saat Anakkrakatau batuk pada 2012
silam.
G Anakkrakatau pun begitu terbuka, gundul, sehingga rombongan terdepan bisa terlihat dari kejauhan. Situasi ini membuat rasa takut tertinggal hilang; kalaupun lambat mendaki. Kebetulan sayalah juara pertama paling akhir yang sampai di puncak; puncak tertinggi yang bisa dicapai wisatawan yakni punggungan kaldera G Krakatau.
Kaldera yang terbentuk akibat letusan legendaris pada 1883 inilah yang kini sudah dihuni G Anakkrakatau.
T Bachtiar dalam handout yang
dibagikan ke peserta, menulis, Anakkrakatau tumbuh empat meter setiap tahunnya.
Sesampainya saya di punggungan kaldera tersebut, ketika kemudian
menengadah, wow…. si anak menjulang megah tepat di hadapan saya. Kami beruntung
bisa naik sampai setinggi ini, karena jika mengingat kasus rombongan tur lain,
mereka datang bertepatan saat Anakkrakatau sedang berdehem. Mereka pun hanya
bisa naik sampai beberapa meter di atas area hutan cemara laut. Itupun katanya
dengan sedikit memaksa agar pihak pengelola situs berstatus cagar alam ini
mengizinkan.
Anakkrakatau dan Anakorang (hehe) |
Kisah rombongan lain bahkan hanya bisa menyaksikan Krakatau dengan mengitari
perairan sekitar gunung menggunakan kapal. Kami pun sebenarnya sempat
diwanti-wanti agar bersiap kecewa karena bisa saja tiba-tiba dilarang turun
dari perahu dengan alasan gunung-api super aktif ini mendadak nge-rock.
Padahal, pemandangan dari ketinggian Krakatau begitu memukau. Di depan
(jika posisi kita membelakangi Anakkrakatau) P Panjang tampak seperti ikan paus
yang sedang mengapung di permukaan. Sedangkan di kanan, P Rakata berdiri anggun
nyaris simetris.
Sebenarnya ada satu pulau lagi yang mengelilingi Krakatau, yakni P
Sertung. Namun posisi pulau ini berada “di belakang” Anakkrakatau sehingga tak
terlihat.
Saat kami turun dari Anakkrakatau, matahari mulai terik, tapi justru
mulai banyak rombongan wisatawan lain yang naik. Keputusan tepat mendatangi
Krakatau di subuh hari. Hujan yang tampaknya turun semalam di sekitar Krakatau,
termasuk saat kami masih di Pulau (P) Sebesi, membuat permukaan Krakatau basah
sehingga tidak memantulkan debu.
Tiga hari melelahkan pergi-pulang melintas kemonotonan jalan tol
Bandung hingga Merak, Ferry lambat bagai siput yang menumpulkan jiwa, dan
lautan luas yang terkadang membosankan, terbayar tunai oleh satu gunung “kecil”
yang pernah mengguncang dunia.
Melintas Ibukota dan Naik Ferry
Berbau Tujuh Rupa
Syukurlah saya tidak dengan dungunya memilih tidak naik, karena justru
tujuan utama tur kami inilah yang memang menjadi pelepas dahaga dari perjalanan
menempuhnya yang cukup melelahkan. Salah satu segmen perjalanan yang membuat
saya sempat malas ikut tur ini adalah: naik
kapal Ferry. Semasa SMP, saya pernah ikut tur melintasi Selat Sunda ke
Bakauheni menggunakan Ferry bernama Jatra;
dan itu sangat membosankan.
Di atas Ferry dini hari, meninggalkan Jawa nun di sana |
Bayangkan, di Ferry saya sempat menegur seorang bapak yang bersiap
menyalakan rokok sambil sibuk mengasuk anak kecil; sepertinya anaknya. Saya
bilang pada dia, jangan merokok di dekat atau di depan anak-anak. Padahal saya
tahu, itu terutama untuk kepentingan saya agar tidak perlu menghirup asap rokok
yang sempat bergumul di mulut dia.
Untunglah di bus yang membawa kami ke Pelabuhan Merak, saya berhasil
menduduki bangku terdepan; di belakang sopir. Bangku terdepan bagi saya adalah
surga kecil karena bisa mengamati “situasi dunia” dengan leluasa, termasuk
mengamati Ibukota yang malam itu puadat merayap (kapan Jakarta tidak padat
merayap?). Bantal leher yang gemuk, tak percuma saya bawa meskipun memenuhi
hampir sepertiga isi ransel.
Berangkat sekitar pukul empat sore, dan tiba di Merak lepas 12 malam
(sepertinya saya kurang akurat ihwal waktu ini). Penumpang Ferry malam itu
tergolong padat. Dan saya terseok-seok dibebani bawaan satu ransel dan satu tas
tenteng yang penuh menggelembung. Padahal peserta lain hanya dibebani satu
ransel di punggung, dan tas selempang untuk barang-barang dengan tingkat keluar
masuk yang intensif.
Tapi saya tidak peduli dengan gaya saya yang rempong. Yang penting
hati tenang karena semua barang yang saya anggap penting terbawa. Seorang
peserta yang tampak minim bawaannya, toh kemudian menyesal tak membawa baju
ganti lebih, padahal udara laut memaksa produktivitas keringat berlebih.
Dugaan saya mengenai Ferry, cukup tepat. Apalagi kabin penumpang hanya
dilengkapi pendingin ruangan lokal, bukan AC sentral. Bau-bauan yang menguar,
sungguh tak cocok dengan hidung belagu saya: campuran antara sedikit bau pesing
dari toilet, bau asem keringat, minyak telon, dsb. Penumpang banyak yang tidur
di lantai kabin.
Tak tahan, akhirnya saya memilih keluar kabin (rupanya ada peserta
lain yang punya masalah serupa dan
bersungut-sungut keluar dari kabin; tampaknya saya cukup obyektif,
hahaha…). Tentu saja, luar kabin justru merupakan lokasi pembenaran para
lokomotif untuk merokok. Namun syukurlah, asap rokok segera hilang ditelan
angin laut. Aroma udara pun lebih alami meskipun seringkali tercium bau asap
bahan bakar Ferry yang merayapi Selat Sunda.
Sesekali saya berjalan-jalan ke berbagai posisi: parkiran mobil,
koridor luar kabin yang langsung berbatasan dengan laut; hanya dihalangi pagar
standar, serta ke area bagian depan kapal. Area depan gelap dan sunyi, tapi
jika diamati ternyata digelimpangi penumpang yang tertidur.
Jadi, dalam sekitar dua jam Merak-Bakauheni, saya memilih berdiri di
luar kabin. Hadiahnya, saya sempat mendapat sajian dari Tuhan berupa penampakan
bintang jatuh. Sesampainya di Pelabuhan Bakauheni, Lampung (mungkin pukul
empat), saya mulai diserang kantuk.
Mengakrabi Pulau Sebuku-Kecil
dan Umang-Umang
Perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni ke Pelabuhan Canti, melintasi
Kalianda, menggunakan angkot, saya manfaatkan untuk tidur. Waktu tempuh kurang
dari satu jam, tapi saya merasa tertidur cukup nyenyak, padahal mungkin hanya
15 menitan. Bahkan saya masih sempat menikmati suasana Kota Kalianda yang
bersih (berbeda dengan kota-kota di Jabar yang nyampah), dengan arsitektur
rumah-rumahnya yang unik; ada sentuhan kolonial.
BERKIBARLAH BENDERAKU: Perjalanan dari dermaga Canti menuju Pulau Sebuku Kecil (sebelum ke Pulau Sebesi) |
Saya baru ingat, Kalianda adalah kota kecamatan yang pernah dijadikan
lokasi Festival Krakatau. Waktu itu (tahun berapa ya?) saya sempat berpikir
betapa beruntungnya orang-orang yang bisa mengikuti festival ini.
Saat tiba di Canti, kota pelabuhan kecil yang melayani pelayaran ke
pulau-pulau kecil, termasuk ke Krakatau tentunya, saya langsung mencari toilet.
Syukurlah satu toilet umum yang tersedia berukuran cukup luas dan yang penting
tidak bau, dengan air melimpah. Belum ada antrian pula. Wush wush wush… Wuiiiih…
legaa!! Kostum diganti, muka diganti, eh.. dicuci, saya pun bisa lebih ceria
menghadapai jadwal tur hari ini.
Sebelum bersandar di Pulau Sebesi, kami berwisata dulu ke Pulau Sebuku
Kecil dan Pulau Umang-umang. Pulau-pulau ini lebih tepat disebut gugusan pulau.
Di Sebuku Kecil, saya ragu: turun nggak, turun nggak… Soalnya saya melihat
peserta lain yang turun ada yang basah sampai melebihi paha. Bagaimana tidak,
tangga turun tidak sampai menapak di daratan. Ombak mengombang-ambingkan tangga
tersebut.
Merapat di Sebuku Kecil menggunakan perahu transportasi tradisional. Pulau yang di seberang sana adalah Sebuku Besar (maaf fotonya miring) |
Tapi pasir putih Sebuku Kecil memanggil-manggil saya untuk turun. Alhamdulillah,
selamat, hanya basah di atas lutut. Padahal kalau sedang apes, bisa saja
kepeleset dan kecebur; seperti yang dialami salah satu peserta saat turun di Krakatau.
Padahal pantai Krakatau lebih landai.
Akan tetapi di Pulau Umang-umang, pantai terlihat lebih curam. Ombak
menjadi lebih kencang memukul pantai. Tangga kapal semakin tidak menapak
daratan. Saya “merengkog” bagai mobil direm mendadak, tak mau ambil risiko. Bahaya
adeng hudaya, kata teman saya mah.
Lagipula suasananya tampaknya tak beda jauh dengan Sebuku Kecil, lah
(*menyangkal supaya gak nyesel). Faktanya, Umang-umang kelihatan lebih cakep.
Peserta juga masuk ke dalam pulau, tak seperti di Sebuku Kecil yang hanya
bermain di pantainya. Sudah barang tentu membosankan menunggu peserta lain
selesai bermain di Umang-umang, namun syukurlah saya tak sendiri. (Bersambung ke Tulisan ke-2)
No comments:
Post a Comment